Minggu, 27 Januari 2008
Mewaspadai Nyeri Punggung Bawah
“Red flags” adalah gejala atau tanda fisik yang memberi petunjuk akan adanya kelainan serius seperti fraktur, kanker, infeksi, dan sindrom kauda. “Yellow flag” adalah faktor psikologis yang memberi petunjuk bahwa nyeri pinggangnya cenderung berkembang menjadi kronik.
Pelacakan akan kausa non mekanik sangat ditentukan oleh ada tidaknya ”red flags” , yang menggambarkan adanya kecurigaan akan penyebab NPB yang serius. Nyeri pada saat istirahat, kelemahan tungkai, gangguan buang air kecil dan buang arir besar, rasa baal di tungkai, riwayat trauma yang signifikan, dan riwayat kanker/ infeksi spesifik merupakan berbagai ”tanda bahaya” pada NPB (Cohen, 2001). Bila anda mengalami nyeri punggung dengan salah satu atau lebih ”tanda bahaya” tersebut, maka segeralah berobat ke dokter.
Keterlibatan sistem saraf dicurigai apabila dalam anamnesa ditemukan gejala nyeri yang sifatnya menjalar sampai di bawah lutut, nyeri memburuk dengan berjalan, gangguan buang air kecil/ buang air besar, dan kelemahan pada tungkai. Dokter anda akan melakukan pemeriksaani yang teliti untuk konfirmasi (Gow, 2003).
Pemeriksaan penunjang akan sangat ditentukan oleh hasil wawancara dan pemeriksaan fisik. Pada kasus-kasus tanpa adanya ”red flags”, pemeriksaan pencitraan/ imaging dapat ditunda terlebih dahulu. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan terpilih pada kasus-kasus dengan kecurigaan penyakit serius di sistem saraft tulang belakang (Gow, 2003).
Penyebab Nyeri Punggung
Berbagai bangunan peka nyeri (misalnya: tulang dan otot) terdapat di daerah punggung bawah. Semua bangunan-bangunan tersebut mengandung reseptor nyeri yang peka terhadap berbagai stimulus (mekanikal, termal, kimiawi). Reseptor-reseptor tersebut sebenarnya berfungsi sebagai proteksi (Skew, 2000). Penyebab unum dari nyeri punggung bawah adalah regangan otot punggung yang berlebih.
Bila Nyeri Menyerang Punggung Bawah
Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama. Kejadian nyeri punggung bawah di Amerika Serikat adalah sekitar 5% dari orang dewasa (Skew, 2000). Kurang lebih 60%-80% individu setidaknya pernah mengalami nyeri punggung dalam hidupnya (Gow, 2003).
Dalam penelitian multisenter di 14 rumah sakit pendidikan Indonesia, yang dilakukan kelompok studi nyeri (pokdi nyeri) Perdossi pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri sebanyak 4456 orang (25% dari total kunjungan), dimana 1598 orang (35,86%) merupakan penderita nyeri kepala dan 819 orang (18,37%) adalah penderita nyeri punggung bawah (NPB) (Meliala, 2004).
Nyeri punngung bawah merupakan 1 dari 10 penyakit terbanyak di Amerika Serikat dengan angka prevalensi berkisar antara 7,6-37%. Puncak insidensi nyeri punggung bawah adalah pada usia 45-60 tahun (Bratton, 1999). Pada penderita dewasa tua, nyeri punggung bawah dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pada 40% penderita, dan gangguan tidur pada 20% penderita. Sebagian besar (75%) penderita akan mencari pertolongan medis, dan 25% diantaranya perlu dirawat inap untuk evaluasi lebih lanjut (Cohen, 2001).
Harapan Baru Bagi Perokok
Rokok adalah hal yang berbahaya. Bahaya rokok tidak saja mengenai orang yang merokok, namun orang lain disekitar perokok (sebagai perokok pasif). Banyak penelitian secara konsisten menghubungkan rokok dengan berbagai penyaki. “Stop Rokok” merupakan semboyan yang harus selalu diingat, “mencegah lebih baik daripada mengobati”.
Tips Berhenti Merokok
Langkah berikutnya adalah dengan meminta dukungan pada lingkungan sekitar untuk program berhenti merokok. Seseorang akan sulit untuk berhenti mrokok bila lingkungan sekitarnya tetap penuh dengan rokok. Setelah yakin dengan program berhenti merokok, maka si perokok harus menetapkan tanggal kapan ia akan mulai berhenti merokok. Langkah tersebut harus diikuti dengan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung (misalnya: berolahraga), dan menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan rokok (misalnya: asbak).
Diantara berbagai langkah tersebut, komitmen dan motivasi merupakan hal yang sangat penting. Banyak cerita sukses berhenti merokok yang dilandasi oleh komitmen dan motivasi yang kuat.
Pada beberapa kasus, efek craving (perasaan tidak enak, mood yang buruk, dan konsentrasi yang buruk) sedemikian kuatnya bagi sang perokok. Penelitian terbaru menemukan sebuah obat yang dapat membantu mengurangi efek craving ini.
Ketagihan Rokok
Nikotin sebagai suatu zat yang ada di dalam rokok memiliki efek untuk membuat ketagihan bagi sang perokok. Efek ketagihan diperantarai oleh dopamin dalam otak. Dopamin merupakan zat di dalam otak yang terpacu keluar akibat paparan nikotin. Pada keadaan normal dopamin berfungsi untuk gerakan otot, proses memori, dan emosi. Nikotin yang terhisap akan diteruskan kedalam otak, dan berikatan denga reseptor 42. Ikatan ini akan memacu pengeluaran dopamin di otak. Dopamin akan memberikan rasa nyaman, tenang bagi orang yang menghisap rokok. Bila ikatan nikotin dan reseptor telah menurun, maka kadar dopamin akan menurun pula. Hal tersebut akan menyebabkan orang tergerak kembali untuk merokok.
Dermikianlah orang menjadi ketagihan untuk terus merokok. Bila kadar nikotin menurun, maka pacuan dopamin akan menurun pula. Hal tersebut menyebabkan seseorang mengalami craving (suatu kondisi pusing, gangguan konsentrasi, dan mood yang buruk). Penurunan kadar dopamin menyebabkan pula berkurangnya reward (suatu kondisi rasa nyaman akibat merokok). Kedua hal tersebut diatas menyebabkan seseoarang menjadi sangat sukar untuk berhenti merokok. Seoarng perokok akan mudah terjebak untuk merokok kembali.
Bahaya Merokok
Berbagai penelitian di bidang kesehatan telah membuktikan bahaya rokok bagi kesehatan. Rokok meningkatkan risiko kanker paru-paru dan mulut sebnayak 14 kali lipat. Rokok meningkatkan pula risiko terkena penyakit jantung dan stroke sebesar 2 kali lipat. Risiko ini dialami secara hampir sama antara perokok aktif dan perokok pasif. Tidak ada batas yang aman bagi oang yang merokok, dan terpapar oleh asap rokok. Pertanyaan kritis yang muncul adalah “mengapa orang masih tetap merokok?”, “mengapa peringatan pemerintah di bungkus rokok tidak efektif untuk menurunkan jumlah perokok?”
Tatalaksana Nyeri Neuropati Diabetika
Terapi lain yang umum digunakan untuk mengatasi nyeri adalah anti depresan dan anti konvulsan. Anti konvulsan mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral yang menjadi dasar bangkitan epilepsi (Chong and Smith, 2000). Epilepsi dan nyeri neuropatik sama-sama timbul karena adanya aktivitas abnormal sistem saraf. Epilepsi dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan bangkitan spontan yang paroksismal, dan hal ini sama dengan kejadian nyeri spontan yang paroksismal pada nyeri neuropatik. Peran reseptor NMDA dalam influks Ca2+ merupakan dasar proses kindling, yang sama dengan fenomena wind-up pada nyeri neuropatik (Chong and Smith, 2000).
Prinsip pengobatan epilepsi adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok S1-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi. Hal yang sama juga dilakukan untuk nyeri neuropatik (Chong and Smith, 2000). Efek analgetika anti konvulsan tidak hanya dengan memblok Si-Na, namun juga dengan menghambat pelepasan neurotransmiter eksitatori, memblok Si-Ca, dan peningkatan jalur inhibisi (Rowbotham, et.al. 2000, Chong and Smith, 2000). Anti depressan memperkuat sistem inhibisi dengan meningkatkan ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Perbaikan tidur yang signifikan dicapai dengan pemberian anti depressan.
Mekanisme Nyeri Neuropati Diabetika
Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan (Woolf, 2004).
Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial dari medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan ambang rendah (raba, tekanan, vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang dalam. Penelitian eksperimental pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah cedera pada saraf. Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru atau sprouting affreen dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor. Sampai saat ini belum diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada pasien dengan nyeri neuropati. Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri intraktabel terhadap terapi. Rasa nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropati disebabkan oleh karena respon sentral abnormal serabut sensorik non noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi (Woolf, 2004).
Impuls perifer yang datang di kornu dorsalis biasanya berupa eksitasi. Impuls tersebut sebelum dijalankan ke otak selalu dimodifikasi oleh serabut saraf intersegmental atau serabut saraf desendens yang bersifat inhibisi. Pada tingkat medula spinalis, proses inhibisi ini diperantarai oleh neuron-neuron inhibisi yang melepaskan glysin dan GABA. Obat anti depressan bekerja dengan meningkatkan sistem inhibisi (penghambatan nyeri) dengan menghambat ambilan kembali serotonin dan norepinefrin.
Proses sensitisasi sentral akan menghasilkan hipersensitivitas nyeri secara langsung dengan meningkatkan eksitasi, hal serupa teramati pula pada keadaan disinhibisi. Disinhibisi terutama terjadi karena kematian interneuron GABA setelah cedera saraf. Pada nyeri kronik khususnya nyeri neuropatik terlihat adanya penurunan aktivitas inhibisi yang berarti eksitasi. Keadaan ini dapat menyebabkan allodinia (Woolf, 2004).
Nyeri akibat Diabetes
Ilustrasi diatas menunjukkan suatu gambaran klinis neuropati diabetika. Neuropati diabetika pada umumnya muncul lambat, dan memiliki progresivitas yang lambat pula. Gejala yang muncul adalah hilangnya sensasi yang berisfat dominansi distal. Neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi DM yang utama. Sebuah penelitian di Australia pada 2436 pasien dengan Diabetes memperlihatkan bahwa 13,1% pasien memiliki neuropati perifer (Tapp, dkk, 2003).
Gejala nyeri merupakan keluhan yang umum dijumpai pada pasien dengan neuropati diabetika. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa nyeri dijumpai pada 7-13% kasus neuroapti diabtetika pada saat awal diagnosis. Prevalensi nyeri dan paraestesia meningkat seiring dengan lamanya menderita diabetes melitus. Rasa nyeri yang sering digambarkan adalah nyeri terbakar, seperti ditusuk-tusuk, bersifat paroksismal. Hiperalgesia (nyeri hebat akibat stimulus nyeri ringan) dan allodinia (nyeri akibat stimulus non nyeri) umum dijumpai.
Kamis, 03 Januari 2008
Hipertensi sebagai maslaah global

Bu Joyo (67 tahun) terbaring lemah di tempat tidur ruang UGD rumahsakit. Bu Joyo mengalami kelumpuhan lengan dan tungkai kiri akibat stroke. Hasil pemeriksaan CT Scan kepala menunjukkan adanya perdarahan di otak sebelah kanan. Tekanan darah Bu Joyo adalah 210/110 mmHg. Dokter bertanya pada keluarga Bu Joyo “sudah lama punya darah tinggi?”. Keluarga menjawab “sudah dok, tapi lama tidak kontrol”. Dokter bertanya kembali “lho kenapa tidak kontrol?”. Keluarga bu Joyo menjawab “karena tidak ada keluhan dok”.
Kasus diatas sungguh-sungguh terjadi di UGD RS tempat penulis bekerja. Kasus tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang menunjukkan bahwa hipertensi adalah “the silent killer”, si pembunuh diam-diam. Hipertensi saat ini masih menjadi faktor risiko kematian tertinggi di seluruh dunia. Data yang dikumpulkan dari berbagai literatur menunjukkan jumlah penderita hipertensi dewasa di seluruh dunia pada tahun 2000 adalah 957-987 juta orang. Prevalensinya diduga akan semakin meningkat setiap tahunnya, sampai mencapai angka 1,56 milyar (60% dari populasi dewasa dunia) pada tahun 2025.
Hipertensi merupakan masalah global di dunia. WHO menetapkan hipertensi sebagai faktor risiko nomor tiga penyebab kematian di dunia. Hipertensi bertanggung jawab terhadap 62% timbulnya kasus stroke, 49% timbulnya serangan jantung. Tujuh juta kematian prematur tiap tahun disebabkan oleh hipertensi.
Pada tahun 2004, biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian tekanan darah ini mencapai 56 juta $ USA. Hipertensi dianggap sebagai masalah serius yang harus diprioritaskan dalam penanganan masalah kesehatan global.
Data yang tersedia di Indonesia dari penelitian di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta, pada tahun 2006, menyatakan kesadaran akan hipertensi sebesar 50%, angka pasien yang minum obat 50%, sedangkan hipertensi terkontrol 50%.