Minggu, 10 Februari 2008

Etika Bisnis Farmasi

Di sebuah lorong poliklinik sebuah RS, serombongan duta farmasi (medical representatives) mencegat seorang dokter untuk menjelaskan tentang obat yang dipromosikannya. Seorang duta farmasi membuka pertemuan dengan bertanya “dokter untuk kasus gangguan saluran cerna berapa obat esomeprazole sodium yang dokter resepkan untuk seorang pasien sehari?”. Si dokter berkata “sepanjang yang saya tahu obat ini diberikan 1 kali sehari”. Duta farmasi lalu berkata “kasihannya pasien dokter, sekarang bisa sampai 6 kali sehari lho dok”. Si dokter sangat terkejut dan berkata “anda bisa tunjukkan artikel penelitiannya pada saya?”. “Oh itu off label (pemakaian di luar indikasi medis yang seharusnya) dok”. Dokter tadi berkata “bila itu off label tentu saya tidak mau, itu akan merugikan pasien yang saya rawat”.
Pulang dari praktek di malam hari, dokter tadi mampir ke sebuah warnet dan menemukan bahwa esomeprazole sodium digunakan dengan dosis 1 kali sehari menurut situs FDA (balai POM di Amerika Serikat) dan MIMS. Kedua situs tersebut merupakan situs yang sangat terpercaya untuk informasi obat, dan tentu memiliki akuntabilitas yang jauh lebih baik daripada keterangan lisan sang duta farmasi. Pertanyaan menarik yang muncul adalah kenapa duta farmasi “nekat” memberikan informasi demikian.
Dokter yang bertugas di rumahsakit atau puskesmas pada umumnya menggunakan proses abdikasi (mengikuti kata dokter senior atau ilmu yang diperoleh di saat pendidikan) dan induksi (berdasar pengalaman klinis) dalam pengambilan keputusan klinis. Proses abdikasi tentu saja tidak boleh terus menerus dipakai karena perkembangan ilmu kedokteran yang sangat cepat. Sebuah obat yang baru diluncurkan dapat saja kemudian ditarik seteleh beberapa waktu karena terbukti berbahaya bagi pasien. Pada kondisi kerja yang sibuk, informasi dari para duta farmasi tentu saja dijadikan salah satu sumber informasi.
Informasi yang diberikan oleh para duta farmasi seringkali dalam bentuk lisan atau leaflet yang berisi informasi produk. Cukup jarang para duta farmasi memberikan artikel ilmiah yang terpercaya (diterbitkan oleh jurnal ilmiah kedokteran yang bergengsi). Bila pun diberikan artikel tentu pula tidak semua dokter mau dan sempat membacanya. Meminta para dokter untuk secara aktif mencari informasi di internet tentu pula tidak mudah. Kesibukan dan keterbatasan teknologi tentu bisa dijadikan alasan.
Informasi dari para duta farmasi yang diberikan secara lisan maupun dalam bentuk leaflet tentu saja terancam bias kepentingan. Sama seperti slogan “semua kecap adalah nomor satu”, maka tentu saja ada upaya untuk mempromosikan prduknya sebagai obat yang paling baik. Tidak jarang pula nama dokter senior atau dokter yang memiliki pasien yang banyak dicatut. Sudah selayaknyalah informasi yang diberikan pada para dokter mengacu pada artikel ilmiah yang asli. Sebuah artikel ilmiah tentu merupakan sumber yang dapat terpercaya. Sebuah publikasi ilmiah tentu akan disunting oleh tim redaksi jurnal kedokteran yang terpercaya.
Di dalam istilah Evidence Based Medicine (kedokteran berbasis bukti), maka informasi yang paling dapat dipercaya adalah informasi yang berasal dari penelitian yang dilakukan dengan kaidah ilmiah yang baik. Informasi yang tidak benar dan secara “mentah-mentah” diterima oleh dokter tentu saja memiliki dampak yang kurang baik. Dampak pertama adalah munculnya efek samping yang merugikan pasien. Sebuah obat bagaikan pisau yang bermata dua. Di satu sisi obat memiliki efek terapetik yang menyembuhkan, namun di sisi lain obat memiliki efek samping yang merugikan. Pemakaian obat yang berlebih (baik dosis maupun lama pemakaian) tentu akan memunculkan efek samping yang merugikan pasien. Dampak kedua yang muncul adalah peningkatan biaya pengobatan yang harus dibayar pasien. Bayangkan bila dokter diawal kisah meresepkan obat sampai 6 kali sehari, maka pasien akan membayar 6 kali lipat dari yang seharusnya.

Selasa, 05 Februari 2008

Gejala Pikun

Gejala awal demensia ditandai oleh “mudah lupa”. Mudah lupa ini ada yang bersifat “beniga”/ mudah lupa wajar, dan bersifat “maligna”/ mudah lupa yang sudah mengganggu aktivitas sehari-hari. Gejala yang sering dikeluhkan adalah lupa nama, lupa janji, lupa menaruh benda, lupa nama peristiwa, dsb. Pada kondisi ini aktivitas sehari-hari masih dapat dilakukan dengan baik, Gejala yang khas dan paling sering dilaporkan dari berbagai penelitian adalah lupa menaruh barang, sehingga muncul lelucon bahwa pada tahap ini seseorang akan mengikuti cabang olahraga baru yaitu “mencari-cari kacamata”.
Gejala akan berlanjut menjadi “mudah lupa yang maligna”, suatu kondisi yang disebut dengan Mild Cognitive Impairment. Pada kondisi ini mudah lupa semakin menjadi-jadi. Keluhan tidak hanya disampaikan oleh pasien, namun juga oleh banyak orang di sekitarnya. Aktivitas rutin harian masih normal, tetapi ada gangguan sedikit dalam aktivitas yang kompleks (misalnya: berberlanja). Kondisi ini di banyak kultur masih sering dianggap wajar, “bila sudah tua, ya wajar mudah lua”. Anggapan tersebut kurang tepat. Bila ditemukan pada tahap ang dini, demensia dapat diperlambat.
Bila penyakit berlanjt, maka akan muncul gejala demensia. Gejala yang umum dijumpai adalah gangguan memori dan ketidakmampuan mempertahankan informasi yang baru. Memori yang terganggu pada umumnya adalah memori jangka pendek. Pada tahap ini pasien seringkali menunjukkan gangguan perilaku, mudah curiga, marah-marah, sering berbohong, dan perilaku lain yang tidak wajar. Aktivitas harian mulai terganggu. Pada tahap yang lebih lanjut sering dijumpai gangguan tidur malam hari, kesulitan menemukan kata-kata, dan kehilangan kontrol atas buang air kecil dan buang air besar. Pada tahap akhir penyakit, pasien lebih banyak di tempat tidur, dan sepenuhnya tergantung pada bantuan orang lain.

Mengenal Pikun

Demensia mulai dikenal secara luas, ketika pada tahun 1995 mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen mengumumkan secara terbuka bahwa ia terkena demensia Alzheimer. Ronald Reagen menggambarkan kondisinya seperti perjalanan menuju ke arah senja kehidupan. Pada tanggal 6 Februari 2000 Reagen merayakan ulang tahunnya yang ke 89, dan pada saat itu Reagen sudah tidak mengenal siapapun kecuali istrinya, Nancy Reagen.
Demensia merupakan kemunduran proses intelektual yang terjadi secara bertahap, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari penyandangnya. Kejadian demensia akan semakin meningkat dengan pertambahan usia. Kejadian demensia adalah 1,4% pada usia 65-69 tahun, 2,8% pada usia 70-74 tahun, 5,6% pada usia 75-79 tahun, dan 23,6% pada usia 85 tahun. Sebagian kasus demensia adalah demensia Alzheimer. Semakin tua seseorang akan semakin rentan untuk terkena demensia.
Penyebab demensia terbanyak adalah demensia Alzheimer. Penyebab lain demensia adalah demensia vaskuler (akibat gangguan pembuluh darah otak), demensia akibat penyakit parkinson, dan demensia sekunder akibat obat/ penyakit infeksi. Penyakit Alzheimer ditemukan pertama kali tahun 1906 oleh dokter Alois Alzheimer. Usia tua merupakan faktor penyebab utama muncunya demensia. Faktor risiko lain adalah riwayat keluarga, yang ditunjukkan dengan pewarisan gen ApoE. Faktor risiko lain munculnya demenesia adalah trauma kepala, stroke, diabetes, hipertensi, dan pemakaian obat-obatan tertentu.

Minggu, 27 Januari 2008

Mewaspadai Nyeri Punggung Bawah

Sebagian besar penyebab nyeri punggung bawah adalah bukan masalah kesehatan yang serius. Hanya kurang lebih 5% dari kasus nyeri punggung bawah yang disebabkan oleh masalah kesehatan yang serius (tumor, infeksi saraf tulang belakang). Gejala dan tanda bahwa suatu nyeri punggung disebabakan suatu penyakit yang serisu disebut “red flags”

“Red flags” adalah gejala atau tanda fisik yang memberi petunjuk akan adanya kelainan serius seperti fraktur, kanker, infeksi, dan sindrom kauda. “Yellow flag” adalah faktor psikologis yang memberi petunjuk bahwa nyeri pinggangnya cenderung berkembang menjadi kronik.
Pelacakan akan kausa non mekanik sangat ditentukan oleh ada tidaknya ”red flags” , yang menggambarkan adanya kecurigaan akan penyebab NPB yang serius. Nyeri pada saat istirahat, kelemahan tungkai, gangguan buang air kecil dan buang arir besar, rasa baal di tungkai, riwayat trauma yang signifikan, dan riwayat kanker/ infeksi spesifik merupakan berbagai ”tanda bahaya” pada NPB (Cohen, 2001). Bila anda mengalami nyeri punggung dengan salah satu atau lebih ”tanda bahaya” tersebut, maka segeralah berobat ke dokter.

Keterlibatan sistem saraf dicurigai apabila dalam anamnesa ditemukan gejala nyeri yang sifatnya menjalar sampai di bawah lutut, nyeri memburuk dengan berjalan, gangguan buang air kecil/ buang air besar, dan kelemahan pada tungkai. Dokter anda akan melakukan pemeriksaani yang teliti untuk konfirmasi (Gow, 2003).

Pemeriksaan penunjang akan sangat ditentukan oleh hasil wawancara dan pemeriksaan fisik. Pada kasus-kasus tanpa adanya ”red flags”, pemeriksaan pencitraan/ imaging dapat ditunda terlebih dahulu. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan terpilih pada kasus-kasus dengan kecurigaan penyakit serius di sistem saraft tulang belakang (Gow, 2003).

Penyebab Nyeri Punggung

Nyeri Punggung Bawah (NPB) adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat berupa nyeri lokal (inflamasi), maupun nyeri radikuler (menjalar) atau keduanya. Nyeri yang berasal dari punggung bawah dapat dirujuk ke daerah lain, atau sebaliknya nyeri yang bersal dari daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah (referred pain) (Meliala, dkk, 2000). Nyeri Punggung Bawah (NPB) pada hakekatnya merupakan keluhan atau gejala dan bukan merupakan penyakit spesifik. Penyebab NPB antara lain kelainan muskuloskeletal, sistem saraf, vaskuler, visceral dan psikogenik. (Hogan, 2000, Czerniecki, 2001).

Berbagai bangunan peka nyeri (misalnya: tulang dan otot) terdapat di daerah punggung bawah. Semua bangunan-bangunan tersebut mengandung reseptor nyeri yang peka terhadap berbagai stimulus (mekanikal, termal, kimiawi). Reseptor-reseptor tersebut sebenarnya berfungsi sebagai proteksi (Skew, 2000). Penyebab unum dari nyeri punggung bawah adalah regangan otot punggung yang berlebih.

Bila Nyeri Menyerang Punggung Bawah

Bapak H (28 tahun) datang ke dokter dengan keluhan nyeri punggung bawah (nyeri boyok) yang hebat. Jalannya tertatih-tatih menahan sakit. Ia mengatakan kepada dokternya “dok saya kemarin mengangkat barang berat, dan beberapa waktu kemudian pinggang saya sangat sakit”. “Saya takut, jangan-jangan saya bisa lumpuh”, lanjut bapak H. Dokter melakukan wawancara dan melakukan pemeriksaan yang teliti pada bapak H, dan kemudian berkata “dari pemeriksaan saya tampaknya tidak ada masalah yang serius, sangat mungkin ini masalah otot saja”.

Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama. Kejadian nyeri punggung bawah di Amerika Serikat adalah sekitar 5% dari orang dewasa (Skew, 2000). Kurang lebih 60%-80% individu setidaknya pernah mengalami nyeri punggung dalam hidupnya (Gow, 2003).

Dalam penelitian multisenter di 14 rumah sakit pendidikan Indonesia, yang dilakukan kelompok studi nyeri (pokdi nyeri) Perdossi pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri sebanyak 4456 orang (25% dari total kunjungan), dimana 1598 orang (35,86%) merupakan penderita nyeri kepala dan 819 orang (18,37%) adalah penderita nyeri punggung bawah (NPB) (Meliala, 2004).

Nyeri punngung bawah merupakan 1 dari 10 penyakit terbanyak di Amerika Serikat dengan angka prevalensi berkisar antara 7,6-37%. Puncak insidensi nyeri punggung bawah adalah pada usia 45-60 tahun (Bratton, 1999). Pada penderita dewasa tua, nyeri punggung bawah dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pada 40% penderita, dan gangguan tidur pada 20% penderita. Sebagian besar (75%) penderita akan mencari pertolongan medis, dan 25% diantaranya perlu dirawat inap untuk evaluasi lebih lanjut (Cohen, 2001).

Harapan Baru Bagi Perokok

Efek yang tidak menyenangkan diawal berhenti merokok dapat dikurangi dengan suatu obat baru yang disebut Varenicline Tartrate . Obat ini akan membantu mengurangi efek craving. Obat yang dipasarkan dengan merk dagang Champix ini telah tersedia di Indonesia. Varenicline akan berikatan pada reseptor dopamin untuk mengurangi efek penurunan dopamin di otak yang bersifat mendadak.

Rokok adalah hal yang berbahaya. Bahaya rokok tidak saja mengenai orang yang merokok, namun orang lain disekitar perokok (sebagai perokok pasif). Banyak penelitian secara konsisten menghubungkan rokok dengan berbagai penyaki. “Stop Rokok” merupakan semboyan yang harus selalu diingat, “mencegah lebih baik daripada mengobati”.

Tips Berhenti Merokok

Langkah pertama untuk berhenti merokok adalah dengan membangun komitmen. Bila perlu carilah motivasi atau inspirasi yang tepat untuk berhenti merokok. Seorang calon ayah dapat berhenti merokok karena termotivasi untuk memberikan lingkungan yang sehat bagi istri dan calon bayinya. Motivasi dan inspirasi yang tepat akan selalu menjadi pengingat bila si perokok hampir terjerumus untuk merokok kembali.

Langkah berikutnya adalah dengan meminta dukungan pada lingkungan sekitar untuk program berhenti merokok. Seseorang akan sulit untuk berhenti mrokok bila lingkungan sekitarnya tetap penuh dengan rokok. Setelah yakin dengan program berhenti merokok, maka si perokok harus menetapkan tanggal kapan ia akan mulai berhenti merokok. Langkah tersebut harus diikuti dengan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung (misalnya: berolahraga), dan menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan rokok (misalnya: asbak).

Diantara berbagai langkah tersebut, komitmen dan motivasi merupakan hal yang sangat penting. Banyak cerita sukses berhenti merokok yang dilandasi oleh komitmen dan motivasi yang kuat.

Pada beberapa kasus, efek craving (perasaan tidak enak, mood yang buruk, dan konsentrasi yang buruk) sedemikian kuatnya bagi sang perokok. Penelitian terbaru menemukan sebuah obat yang dapat membantu mengurangi efek craving ini.

Ketagihan Rokok

Penulis yakin bahwa lebih dari 95% perokok tahu bahaya merokok. Bahaya merokok telah secara masif dikampanyekan di berbagai media. Pertanyaan yang muncul adalah “mengapa orang masih tetap merokok?”. Beberapa penelitian terakhir mengkonfirmasi bahwa nikotin bertanggung jawab pada efek ketagihan akibat rokok.

Nikotin sebagai suatu zat yang ada di dalam rokok memiliki efek untuk membuat ketagihan bagi sang perokok. Efek ketagihan diperantarai oleh dopamin dalam otak. Dopamin merupakan zat di dalam otak yang terpacu keluar akibat paparan nikotin. Pada keadaan normal dopamin berfungsi untuk gerakan otot, proses memori, dan emosi. Nikotin yang terhisap akan diteruskan kedalam otak, dan berikatan denga reseptor 42. Ikatan ini akan memacu pengeluaran dopamin di otak. Dopamin akan memberikan rasa nyaman, tenang bagi orang yang menghisap rokok. Bila ikatan nikotin dan reseptor telah menurun, maka kadar dopamin akan menurun pula. Hal tersebut akan menyebabkan orang tergerak kembali untuk merokok.

Dermikianlah orang menjadi ketagihan untuk terus merokok. Bila kadar nikotin menurun, maka pacuan dopamin akan menurun pula. Hal tersebut menyebabkan seseorang mengalami craving (suatu kondisi pusing, gangguan konsentrasi, dan mood yang buruk). Penurunan kadar dopamin menyebabkan pula berkurangnya reward (suatu kondisi rasa nyaman akibat merokok). Kedua hal tersebut diatas menyebabkan seseoarang menjadi sangat sukar untuk berhenti merokok. Seoarng perokok akan mudah terjebak untuk merokok kembali.

Bahaya Merokok

Rokok mengandung kurang lebih 4000 zat, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya. Racun utama yang terkandung di dalam rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansia hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin merupakan zat adiktif yang mempengaruhi saraf dan peredaran darah. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.

Berbagai penelitian di bidang kesehatan telah membuktikan bahaya rokok bagi kesehatan. Rokok meningkatkan risiko kanker paru-paru dan mulut sebnayak 14 kali lipat. Rokok meningkatkan pula risiko terkena penyakit jantung dan stroke sebesar 2 kali lipat. Risiko ini dialami secara hampir sama antara perokok aktif dan perokok pasif. Tidak ada batas yang aman bagi oang yang merokok, dan terpapar oleh asap rokok. Pertanyaan kritis yang muncul adalah “mengapa orang masih tetap merokok?”, “mengapa peringatan pemerintah di bungkus rokok tidak efektif untuk menurunkan jumlah perokok?”

Tatalaksana Nyeri Neuropati Diabetika

Prinsip utama penatalaksanaan nyeri neuropati diabetika adalah pengendalian kadar gula darah. Pengendalian kadar gula darah akan menghambat progresivitas neuropati diabetika. Penelitian pada 1441 pasien dengan diabetes tipe 1 menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah efektif untuk memperlambat progresivitas neuropati diabetika.

Terapi lain yang umum digunakan untuk mengatasi nyeri adalah anti depresan dan anti konvulsan. Anti konvulsan mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral yang menjadi dasar bangkitan epilepsi (Chong and Smith, 2000). Epilepsi dan nyeri neuropatik sama-sama timbul karena adanya aktivitas abnormal sistem saraf. Epilepsi dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan bangkitan spontan yang paroksismal, dan hal ini sama dengan kejadian nyeri spontan yang paroksismal pada nyeri neuropatik. Peran reseptor NMDA dalam influks Ca2+ merupakan dasar proses kindling, yang sama dengan fenomena wind-up pada nyeri neuropatik (Chong and Smith, 2000).

Prinsip pengobatan epilepsi adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok S1-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi. Hal yang sama juga dilakukan untuk nyeri neuropatik (Chong and Smith, 2000). Efek analgetika anti konvulsan tidak hanya dengan memblok Si-Na, namun juga dengan menghambat pelepasan neurotransmiter eksitatori, memblok Si-Ca, dan peningkatan jalur inhibisi (Rowbotham, et.al. 2000, Chong and Smith, 2000). Anti depressan memperkuat sistem inhibisi dengan meningkatkan ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Perbaikan tidur yang signifikan dicapai dengan pemberian anti depressan.

Mekanisme Nyeri Neuropati Diabetika

Pertanyaan kritis yang muncul adalah mengapa dapat muncul nyeri pada neuropati diabetika? Mengapa gejala positif (nyeri) dapat muncul bersama-sama dengan gejala negatif (baal dan hipestesia) ? Nyeri neuropatik merupakan akibat dari fungsi abnormal sistem saraf. Abnormalitas fungsi sistem saraf perifer, sentral, maupun simpatis dapat menyebabkan munculnya nyeri neuropatik. Kasus nyeri neuropatik (tanpa memandang kausa) menunjukkan mekanisme/ patofisiologi dan gambaran klinis yang hampir serupa. Nyeri neuropatik merupakan sindroma nyeri kronik yang sangat mempengaruhi segala aspek dari kehidupan pasien (Teng and Mekhail, 2003).

Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan (Woolf, 2004).

Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial dari medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan ambang rendah (raba, tekanan, vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang dalam. Penelitian eksperimental pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah cedera pada saraf. Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru atau sprouting affreen dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor. Sampai saat ini belum diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada pasien dengan nyeri neuropati. Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri intraktabel terhadap terapi. Rasa nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropati disebabkan oleh karena respon sentral abnormal serabut sensorik non noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi (Woolf, 2004).

Impuls perifer yang datang di kornu dorsalis biasanya berupa eksitasi. Impuls tersebut sebelum dijalankan ke otak selalu dimodifikasi oleh serabut saraf intersegmental atau serabut saraf desendens yang bersifat inhibisi. Pada tingkat medula spinalis, proses inhibisi ini diperantarai oleh neuron-neuron inhibisi yang melepaskan glysin dan GABA. Obat anti depressan bekerja dengan meningkatkan sistem inhibisi (penghambatan nyeri) dengan menghambat ambilan kembali serotonin dan norepinefrin.

Proses sensitisasi sentral akan menghasilkan hipersensitivitas nyeri secara langsung dengan meningkatkan eksitasi, hal serupa teramati pula pada keadaan disinhibisi. Disinhibisi terutama terjadi karena kematian interneuron GABA setelah cedera saraf. Pada nyeri kronik khususnya nyeri neuropatik terlihat adanya penurunan aktivitas inhibisi yang berarti eksitasi. Keadaan ini dapat menyebabkan allodinia (Woolf, 2004).

Nyeri akibat Diabetes

Ibu Susi datang ke klinik neurologi dengan keluhan nyeri dan baal pada ujung-ujung jari kaki dan tangan sejak 2 bulan belakangan ini. Nyeri dirasakan memberat pada malam hari. Nyeri dirasakan seperti terbakar dan ditusuk. Ibu Susi adalah penderita diabetes melitus sejak 5 tahun yang lalu, dengan kadar gula darah yang belum terkontrol. Pada pemeriksaan neurologi didapatkan penurunan sensibilitas pada tungkai dan tangan. Goresan pada telapak kaki menimblkan nyeri yang cukup signifikan. Pada pemeriksaan ENMG (Electro Neuromiografi) didapatkan tanda-tanda denervasi dan pemanjangan latensi saraf tibialis posterior, peroneus, medianus, dan ulnaris.

Ilustrasi diatas menunjukkan suatu gambaran klinis neuropati diabetika. Neuropati diabetika pada umumnya muncul lambat, dan memiliki progresivitas yang lambat pula. Gejala yang muncul adalah hilangnya sensasi yang berisfat dominansi distal. Neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi DM yang utama. Sebuah penelitian di Australia pada 2436 pasien dengan Diabetes memperlihatkan bahwa 13,1% pasien memiliki neuropati perifer (Tapp, dkk, 2003).

Gejala nyeri merupakan keluhan yang umum dijumpai pada pasien dengan neuropati diabetika. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa nyeri dijumpai pada 7-13% kasus neuroapti diabtetika pada saat awal diagnosis. Prevalensi nyeri dan paraestesia meningkat seiring dengan lamanya menderita diabetes melitus. Rasa nyeri yang sering digambarkan adalah nyeri terbakar, seperti ditusuk-tusuk, bersifat paroksismal. Hiperalgesia (nyeri hebat akibat stimulus nyeri ringan) dan allodinia (nyeri akibat stimulus non nyeri) umum dijumpai.

Kamis, 03 Januari 2008

Hipertensi sebagai maslaah global


Bu Joyo (67 tahun) terbaring lemah di tempat tidur ruang UGD rumahsakit. Bu Joyo mengalami kelumpuhan lengan dan tungkai kiri akibat stroke. Hasil pemeriksaan CT Scan kepala menunjukkan adanya perdarahan di otak sebelah kanan. Tekanan darah Bu Joyo adalah 210/110 mmHg. Dokter bertanya pada keluarga Bu Joyo “sudah lama punya darah tinggi?”. Keluarga menjawab “sudah dok, tapi lama tidak kontrol”. Dokter bertanya kembali “lho kenapa tidak kontrol?”. Keluarga bu Joyo menjawab “karena tidak ada keluhan dok”.


Kasus diatas sungguh-sungguh terjadi di UGD RS tempat penulis bekerja. Kasus tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang menunjukkan bahwa hipertensi adalah “the silent killer”, si pembunuh diam-diam. Hipertensi saat ini masih menjadi faktor risiko kematian tertinggi di seluruh dunia. Data yang dikumpulkan dari berbagai literatur menunjukkan jumlah penderita hipertensi dewasa di seluruh dunia pada tahun 2000 adalah 957-987 juta orang. Prevalensinya diduga akan semakin meningkat setiap tahunnya, sampai mencapai angka 1,56 milyar (60% dari populasi dewasa dunia) pada tahun 2025.

Hipertensi merupakan masalah global di dunia. WHO menetapkan hipertensi sebagai faktor risiko nomor tiga penyebab kematian di dunia. Hipertensi bertanggung jawab terhadap 62% timbulnya kasus stroke, 49% timbulnya serangan jantung. Tujuh juta kematian prematur tiap tahun disebabkan oleh hipertensi.

Pada tahun 2004, biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian tekanan darah ini mencapai 56 juta $ USA. Hipertensi dianggap sebagai masalah serius yang harus diprioritaskan dalam penanganan masalah kesehatan global.

Data yang tersedia di Indonesia dari penelitian di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta, pada tahun 2006, menyatakan kesadaran akan hipertensi sebesar 50%, angka pasien yang minum obat 50%, sedangkan hipertensi terkontrol 50%.